Jumat, 28 Maret 2014

Sudah Sangat Lama


Aku bahkan sudah tidak ingat, kapan terakhir kali melihatnya, bertatap muka dengannya, atau bahkan sekedar berbicara dengannya melalui telpon. Sudah terlalu lama. Enam tahun. Sepertinya. 

Ya ya ya. Setidaknya sudah enam tahun. Dan tidak ada lagi percakapan itu. percakapan-percakapan yag panjang. Percakapan diberanda, di sebuah gang sempit belakang masjid. Atau obrolan 3 jam di kantin depan kampus. Hhh… dan gambar gambar itu pun memasuki ruang ingatanku melalui sehela nafas menuju memory masa lalu. Tapi entahlah, ia seperti enyah tergerus peradaban dunia. Dari jaman polyphonic sampai android.

Sahabat selalu menyajikan kerinduan. Seperti secangkir kopi di dingin pagi yang tertuang.

Anak Jalanan Jogjakarta



“Mereka itu anak-anak yang tidak memikirkan masa depan, Mas. Ya begitu itu pekerjaan setiap harinya. Menghampiri setiap mobil yang berhenti di lampu merah, kemudian minta uang atau rokok”
Itulah kalimat yang diucapkan ibu paruh baya mengomentari seorang pemuda berkulit gelap, bertato di hampir sepanjang lengannya, berambut lusuh dengan sedikit kuncir di belakang, bercelana jeans pendek degan sobekan-sobekan, dan beberapa asesoris di badannya.
“Mereka itu anak jalanan yang saya juga ga tau dari mana asalnya”. Anak jalanan. Begitulah ibu itu menyebutnya. Sambil menikmati sebutir es kelapa muda setelah  menempuh perjalanan 3 jam dari Dataran Tinggi Dieng sampai Joja. Saya perhatikan pemuda tadi dan bebrapa teman-temannya yang duduk memanjang di trotoar di dekat lampu merah. Jumlahnya lumayan banyak dengan penampilah yang hampir sama. Sebagian dari mereka sedang ngobrol, ada yang sedang bengong, ada yang tengah berdiri dengan mata menjelajahi lalu lalang mobil yang melintas, dan ada yang tertawa-tawa sambil membawa beberapa uang receh yang mungkin barusan ia terima dari mengamen. Dan setelah saya perhatikan salah satu di antara mereka adalah seorang gadis. Mungkin sekitar 15 tahunan.
Apa yang ada dalam benak mereka. Pikir saya dalam hati. Tentu mereka tidak sekolah. Hampir sepanjang harinya mereka habis kan di perempatan itu. Dan ibu tadi bilang bahwa mereka bukan anak anak asli daerah sekitar sini. Bahkan tiga dari mereka baru datang beberapa hari yang lalu dari Jakarta. Lalu di mana mereka pulang ketika malam menjelang?
Tak ingin rasanya segelas es kelapa muda ini saya habiskan cepat cepat. Saya masih ingin memperhatikan anak-anak jalanan itu. Anak anak yang dari luarnya lusuh itu. Seperti ada sebuah buku yang membuat saya ingin membukanya, membacanya, dan memahaminnya. Lalu merenungkannya menjadi sebuah isyarat tentang manusia.
Anak jalanan. Salahkah? Salah siapa?
Berpuluh pertanyaan kemudian hadir di benak saya tentang siapa mereka, dari mana asal mereka, siapa orangtua mereka, apa pekerjaan orangtua mereka, kenapa mereka bisa sampai di sini, apa cita-cita mereka, dan seterusnya.
Cita-cita? Mimpi? Ya, saya yakin. Mereka punya cita-cita dan mimpi. Sebagaimana anak-anak yang lain, yang tinggal di rumah rumah sederhana ataupun mewah, yang bersekolah, di mana saja.


Wonosobo-Jogja Agustus 2013

Minggu, 22 April 2012

Kamuflase

Hanya keyakinanku pada Tuhan yang membuat aku mampu bertahan pada keadaan ini. Namun entahlah, sudahkah aku mencapai titik nadir dari keresahan itu. Atau belum. Jika memang belum, akankah aku kuat menahan gempuran perasaan dan keraguan tentang masa depan kelak?
Saat ini yang ada dalam relungku hanyalah wajah-wajah itu. wajah-wajah yang selalu ingin aku belai dengan bakti dan cinta, dengan hati dan tulus jiwa. Wajah-wajah yang di sanalah masa depan aku lukiskan. Bukan masa depanku.
Dan siapapun boleh tak mengerti. Boleh menganggap aku gilaahu. Boleh menganggap aku ... entahlah...

Dan aku tidak mengeluh. Tapi aku tak bisa lari, dari ruang gelisah yang kian hari mengombang ambingkan detak nadi. Dan aku tak punya tempat untuk berlabuh. Mengadukan retak kegalauan yang membumbung mengaduh. Aku ingin kembali rasanya, sesekali, mendekati dan menghisap racun nikotin sebagaimana tahun-tahun itu. Tahun-tahun di mana gelisah menggelayut melilit tubuh. Namun dengan cerita yang lain tentu saja. Plot, tema, dan tokoh-tokoh yang lain. Namun aku takut. Kepulan asap nikmat tanpa definisi itu akan malah mengakhiri perjalananku.

Kawan, entah siapa pun dirimu, sebab tak kutemukan lagi kamu yang seperti dulu sejak waktu harus memutuskan tatap kita lewat sebuah topi toga, ingin kau bercerita padamu.

Sabtu, 18 Februari 2012

Gang Sunan Ampel

Di lorong inilah semuanya dimulai. 11 tahun yang lalu, tepatnya. Sebuah lorong dengan nama "gang Sunan Ampel". Dengan angin sore bulan Juni yang mengajakku berkenalan dengan perbedaan cuaca dari lereng perbukitan. Di sinilah catatan itu bermula. Menjelajahi episode enam tahun yang penuh petualangan dan kejutan kejutan.

Hmmm... telah lama ternyata. Apa yang berubah?
Status, kesibukan, mindset, bla bla bla...
termasuk warung masakan padang itu. Telah disulap menjadi counter photocopy.

Lalu gedung gedung itu, ah, semua telah runtuh. Gedung-gedung tua yang mengelilingi jajaran pohon lengkeng, tempat wajah wajah muda bersenda dan mahsyuk dalam gairah jingga. Semua telah berubah, sahabat. Ada yang asing dalam detak jantungku ketika langkah langkah itu perlahan menyusuri sebuah pintu dengan tiga resepsionist yang menunggu. Sebuah pemandangan yang sungguh tak akrab di mataku.

Dan lorong inilah. Di antara kepulan nasi panas dan ayam goreng. Lorong ini masih sama. Jalan panjang ke barat yang pastinya akan mengantarkan aku menuju beranda yang dulu. Di mana ku perkenalkan padamu sebuah lagu tentang seseorang. Beranda yang menjadi persinggahan menuangkan segelas certita. Lalu lelaki paruh baya itu. yayaya, yang punya wartel yang selalu tajam mengawasi kau dan aku.

Senin, 30 Januari 2012

Sehembus

Ada kerinduan tentang catatan-catatan masa lalu sesaat setelah pembicaraan kita lewat. Huruf-huruf itu terhenti oleh beratnya mata yang mulai sayu. Kerinduan tentang jiwa yang masih belia. Sewaktu malam bulan mei masih menggigit dingin pula. Dan guratan-guratan gambar itupun perlahan singgah. Satu-satu wajah yang telah entah ke mana bersijingkat dalam senyum menggemai rongga kepala. Namun inilah sebuah cerita yang selalu oleh Tuhan disembunyikan. Seperti kata-katamu, tentang apa yang saat ini kau nikmati.
Demikianlah pula aku, Sofia. Sajak-sajak itu telah lama redup dalam senja. Dan gema erangan yang sempat berteriak-teriak di depan trotoar malam itu hanya menjadi sebuah cerita. Ya ya ya. Cerita itu kini menjadi cerita. Cerita untuk wajah-wajah baru yang dengan tekun mendengarkan dongeng dari kakek Tua sepertiku. Ah, sudah berapa tahunkah?
Seperti telah lewat sudah. Seperti  ada dunia lain. atau memang dunia telah terbelah? Dan masih-masing kita terlempar ke dataran yang berlainan. Ke bukit-bukit, lembah-lembah, dan jurang-jurang dengan dekorasi serta gambar-gambar yang berlainan pula.

Rabu, 18 Januari 2012

Rumpun Bambu

Tak ada yang perlu dibicarakan antara rumpun bambu dan keladi yang masih menghijau beberapa minggu lalu. Sebab inilah putaran waktu. Sebab bumi bulat. Sebab kepala dan perut manusia juga bulat. Maka segala bentuk catatan akan berubah judul dan episodenya. Di kanfas goresan warna membentuk garis aragaris yang berbeda pula. Sebab kemarau sudah berlalu, dan hujan tak lagi lama menunggu. Maka tak ada yang perlu dibicarakan lagi antara ilalang dan rumpun bambu tentang waktu yang tiba. Tentang tajamnya bilah parang yang menebas skenario pematang sawah.
Tak ada yang perludibicarakan lagi antara ilalang dan rumpun bambu. Sebab mereka telah terkulai. Dan siap dibilah menjadi rajutan dinding-dinging rumah. Sebab bumi tempat tumbuh dan berdiri, akan disulap menjadi dinding beton dengan akar-akar investasi tingkat tinggi.
Namun beginilah selalu cerita putaran waktu. Dan tak ada lagi yang perlu dibicarakan antara padang ilalang dan rumpun bambu...

Kamis, 05 Januari 2012

Elegi Kampoeng Lama

Kota kecil ini, kampung ini, sudah tidak seperti dulu. Ia bukan lagi kampung yang menaklukkan siapapun yang datang menjadi lebih baik dan matang. tapi kampung inilah yang sekarang takluk dan berserah pada siapa yang datang.

Dulu, kampung ini selalu mengajarkan siapa saja yang datang untuk belajar hakikat hidup dan kesederhanaan. Siapa pun yang datang ke sini, harus mau makan di warung sederhana dengan menu sederhana dengan harga seribu rupiah. Dulu siapa pun yang datang ke sini harus belajar mandi di kamar mandi belakang rumah yang kadang dindingnya hanya selapis kayu atau rajutan bambu, atau bahkan sulaman daun daun pisang yang kadang meninggalkan lubang. Dulu siapa pun yang datang ke sini harus belajar bagaimana berbusana layaknya masyarakat desa yang sederhana, santun, dan bersahaja. Dulu di atas jam 9 malam kampung ini sudah begitu sepi, jalanan lengang, dan tak akan terlihat satu pun gadis sekedar berjalan di luar.

Namun beginilah jaman, kawan. Setiap keaslian akan rela tergerus oleh peradaban-peradaban baru yang datang. Kampung ini tentu saja, tak sesepi dulu, bisa dikatakan sudah merangkak menjadi setengah metropoltan. Warung warung sederhana dengan hidangan khas masyarakat desa dan harganya yang murah telah banyak yang undur diri, perlahan dengan sahajanya menghilang dan pergi, dan berganti dengan kafe kafe gaul ala anak remaja yang lengkap dengan musiknya yang membuat kepala tak bisa diam. Menu menu sederhana itu pun mulai berubah nama dengan ejaan ejaan yang mungkin membuat lidah penduduk desa ini keseleo untuk mengucapkannya.

Di setiap sudut kafe dan jalan, tak akan asing lagi remaja remaja dengan busana ala sinetron, gaya bahasa ala sinetron, bahkan tertawa ala sinetron. Kampung ini sudah berserah. Tak lagi mampu mengajarkan pada siapa pun yang datang untuk belajar memahami hidup susah. Namun kampung ini kini telah siap memanjakan siapa pun yang datang dengan kamar-kamar mewah lengkap dengan kamar mandi di dalamnya. Dan di atas jam 10 malam pun, di kafe maupun sepanjang jalan, gadis gadis atau pun pemuda pemuda dan rejama masih riuh berbincang di remangnya suasana malam.