“Mereka itu anak-anak yang tidak memikirkan masa depan,
Mas. Ya begitu itu pekerjaan setiap harinya. Menghampiri setiap mobil yang
berhenti di lampu merah, kemudian minta uang atau rokok”
Itulah kalimat yang diucapkan ibu paruh baya mengomentari
seorang pemuda berkulit gelap, bertato di hampir sepanjang lengannya, berambut
lusuh dengan sedikit kuncir di belakang, bercelana jeans pendek degan
sobekan-sobekan, dan beberapa asesoris di badannya.
“Mereka itu anak jalanan yang saya juga ga tau dari mana
asalnya”. Anak jalanan. Begitulah ibu itu menyebutnya. Sambil menikmati sebutir
es kelapa muda setelah menempuh
perjalanan 3 jam dari Dataran Tinggi Dieng sampai Joja. Saya perhatikan pemuda
tadi dan bebrapa teman-temannya yang duduk memanjang di trotoar di dekat lampu
merah. Jumlahnya lumayan banyak dengan penampilah yang hampir sama. Sebagian
dari mereka sedang ngobrol, ada yang sedang bengong, ada yang tengah berdiri
dengan mata menjelajahi lalu lalang mobil yang melintas, dan ada yang
tertawa-tawa sambil membawa beberapa uang receh yang mungkin barusan ia terima
dari mengamen. Dan setelah saya perhatikan salah satu di antara mereka adalah
seorang gadis. Mungkin sekitar 15 tahunan.
Apa yang ada dalam benak mereka. Pikir saya dalam hati.
Tentu mereka tidak sekolah. Hampir sepanjang harinya mereka habis kan di
perempatan itu. Dan ibu tadi bilang bahwa mereka bukan anak anak asli daerah
sekitar sini. Bahkan tiga dari mereka baru datang beberapa hari yang lalu dari Jakarta.
Lalu di mana mereka pulang ketika malam menjelang?
Tak ingin rasanya segelas es kelapa muda ini saya habiskan
cepat cepat. Saya masih ingin memperhatikan anak-anak jalanan itu. Anak anak
yang dari luarnya lusuh itu. Seperti ada sebuah buku yang membuat saya ingin
membukanya, membacanya, dan memahaminnya. Lalu merenungkannya menjadi sebuah
isyarat tentang manusia.
Anak jalanan. Salahkah? Salah siapa?
Berpuluh pertanyaan kemudian hadir di benak saya tentang
siapa mereka, dari mana asal mereka, siapa orangtua mereka, apa pekerjaan
orangtua mereka, kenapa mereka bisa sampai di sini, apa cita-cita mereka, dan
seterusnya.
Cita-cita? Mimpi? Ya, saya yakin. Mereka punya cita-cita dan
mimpi. Sebagaimana anak-anak yang lain, yang tinggal di rumah rumah sederhana
ataupun mewah, yang bersekolah, di mana saja.
Wonosobo-Jogja Agustus 2013